RSS

Sistem informasi manajemen

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sistem informasi manajemen (SIM) (bahasa Inggris: management information system, MIS) adalah bagian dari pengendalian internal suatu bisnis yang meliputi pemanfaatan manusia, dokumen, teknologi, dan prosedur oleh akuntansi manajemen untuk memecahkan masalah bisnis seperti biaya produk, layanan, atau suatu strategi bisnis. Sistem informasi manajemen dibedakan dengan sistem informasi biasa karena SIM digunakan untuk menganalisis sistem informasi lain yang diterapkan pada aktivitas operasional organisasi. Secara akademis, istilah ini umumnya digunakan untuk merujuk pada kelompok metode manajemen informasi yang bertalian dengan otomasi atau dukungan terhadap pengambilan keputusan manusia, misalnya sistem pendukung keputusan, sistem pakar, dan sistem informasi eksekutif.

Tujuan Umum

  • Menyediakan informasi yang dipergunakan di dalam perhitungan harga pokok jasa, produk, dan tujuan lain yang diinginkan manajemen.
  • Menyediakan informasi yang dipergunakan dalam perencanaan, pengendalian, pengevaluasian, dan perbaikan berkelanjutan.
  • Menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan.

Ketiga tujuan tersebut menunjukkan bahwa manajer dan pengguna lainnya perlu memiliki akses ke informasi akuntansi manajemen dan mengetahui bagaimana cara menggunakannya. Informasi akuntansi manajemen dapat membantu mereka mengidentifikasi suatu masalah, menyelesaikan masalah, dan mengevaluasi kinerja (informasi akuntansi dibutuhkan dam dipergunakan dalam semua tahap manajemen, termasuk perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan).

Bayu Tulus Almahri

[sunting] Proses Manajemen

Proses manajemen didefinisikan sebagai aktivitas-aktivitas:

  • Perencanaan, formulasi terinci untuk mencapai suatu tujuan akhir tertentu adalah aktivitas manajemen yang disebut perencanaan. Oleh karenanya, perencanaan mensyaratkan penetapan tujuan dan identifikasi metode untuk mencapai tujuan tersebut.
  • Pengendalian, perencanaan hanyalah setengah dari peretempuran. Setelah suatu rencana dibuat, rencana tersebut harus diimplementasikan, dan manajer serta pekerja harus memonitor pelaksanaannya untuk memastikan rencana tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Aktivitas manajerial untuk memonitor pelaksanaan rencana dan melakukan tindakan korektif sesuai kebutuhan, disebut kebutuhan.
  • Pengambilan Keputusan, proses pemilihan di antara berbagai alternative disebut dengan proses pengambilan keputusan. Fungsi manajerial ini merupakan jalinan antara perencanaan dan pengendalian. Manajer harus memilih di antara beberapa tujuan dan metode untuk melaksanakan tujuan yang dipilih. Hanya satu dari beberapa rencana yang dapat dipilih. Komentar serupa dapat dibuat berkenaan dengan fungsi pengendalian.

Menurut Francisco Proses Manajemen adalah suatu proses Penukaran terhadap nilai dan jasa

[sunting] Bagian

SIM merupakan kumpulan dari sistem informasi:

  • Sistem informasi akuntansi (accounting information systems), menyediakan informasi dan transaksi keuangan.
  • Sistem informasi pemasaran (marketing information systems), menyediakan informasi untuk penjualan, promosi penjualan, kegiatan-kegiatan pemasaran, kegiatan-kegiatan penelitian pasar dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pemasaran.
  • Sistem informasi manajemen persediaan (inventory management information systems).
  • Sistem informasi personalia (personal information systems).
  • Sistem informasi distribusi (distribution information systems).
  • Sistem informasi pembelian (purchasing information systems).
  • Sistem informasi kekayaan (treasury information systems).
  • Sistem informasi analisis kredit (credit analysis information systems).
  • Sistem informasi penelitian dan pengembangan (research and development information systems).
  • Sistem informasi analisis software
  • Sistem informasi teknik (engineering information systems).
 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 4 Juli 2011 inci Materi Muliah

 

PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT

1. Latar Belakang Masalah

Paradigma Baru Pendidikan dalam undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.(1)

Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998.

Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.

Dengan demikian Peran serta Masyarakat dalam pendidikan sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan peran yang sudah ada dengan lebih terarah dan terencana dengan baik sehingga kepedulian masyarakat terhadap pendidikan sangat tinggi dengan aktif berperan serta sesuai dengan tata laksana yang benar. Pendidikan tanpa dukungan dan keikutsertaan masyarakat dalam mensukseskannya akan menyebabkan malproduct dan hanya mengejar status bukan keahlian dan mengantisipasi kebutuhan masyarakat. Ada peran-peran yang dapat diambil oleh masyarakat dalam menuangkan ide atau keinginannya dan bagaimana sebenarnya pendidikan berbasis masyarakat dapat diimpelementasikan serta apa peran pemerintah dan masyarakat dalam menyukseskannya.

Tentunya impelementasi pendidikan berbasis masyarakat memiliki kendala yang sangat krusial untuk didiskusikan dan sangat memerlukan problem solving. Kendala-kendala ini yang ditemukan di masyarakat berdasar kepada penemuan beberapa ahli.

2. Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah

Pendidikan berbasis Masyarakat merupakan salah satu dari Desentralisasi pendidikan dan konsep otonomi daerah. Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.

Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerahmenjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2).

Dengan adanya desentralisai penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 (pasal 46 ayat 2).

“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”

Itulah sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49 ayat 2).

Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2)

Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2). Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru pendidikan, untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal. Hak ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang memperhatikan juga muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya, dan juga untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut. Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan bahkan dapat tercipta secara otomatis.

Selain itu pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikanm yang bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Hal ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal melalui penyediaan tenaga-tenaga terdidik, juga menyikapi perlunya tersedia satuan pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan kaliber dunia di Indonesia.

Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkwalitas, maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 2). Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik dan/atau guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau guru untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa 12 ayat 1 huruf a dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan dan penyebarannya diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal (pasal 41 ayat 1 dan 2)).

Selain itu pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah memiliki kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun non formal (pasal 62 ayat 1), sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Dengan adanya desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan pelayanan klepada rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.

3. Pendidikan dan Masyarakat

Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2).

Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan/atau sumber lain (pasal 55 ayat 3). Demikian juga lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah.

Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1 butir 24 dan 25). Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3

4. Pendidikan berbasis Masyarakat

Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan impelementasi dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U., 2001). Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian tenaga pendidikan (pihak-pihak terkait) harus melakukan akuntabilitas (pertanggungjawaban) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S., 2004 akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat (community based education). Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika.

Beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR.Arief Rahman (2) adalah:

1) Pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya
2) Malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran.
3) Pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.

Sedangkan menurut Surya, M., 2002 (3) salah satu problematika pendidikan di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan optimal. Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika kita kaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya saing yang rendah. Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu hasil pendidikan kita adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen utama mereka, seperti:

1) Alumni kedokteran tidak menunjukkan kepekaan sosial terhadap maraknya wabah demam berdarah, sehingga lonjakan wabah tersebut di beberapa daerah harus dibarengi dengan ironi kekurangan tenaga medik dan paramedik, sehingga terjadilah kisah tragis Indah di Indramayu.
2) Kesulitan untuk mencari guru mengaji di sebagian besar masjid-masjid kota pontianak dan Kab./Kota lainnya di Propinsi kalimantan Barat merupakan hal yang sulit kita pahami, mengingat STAIN Pontianak hingga saat ini telah meluluskan banyak alumni.
3) Sangat ironis terjadi bagi masyarakat Kalimantan Barat jika harus kekurangan tenaga dan ahli pertanian sehingga banyak areal pertanian terbengkalai atau salah urus, mengingat Untan dan IPB meluluskan ratusan sarjana pertanian setiap tahunnya. Kisah-kisah ironis tersebut menggambarkan secara jelas bahwa kompetensi moral dan kompetensi sosial SDM keluaran sistem pendidikan kita sangat tidak compatible dengan tuntutan dunia kerja di dalam masyarakatnya. Sistem pendidikan tidak menjadikan masyarakat sebagai dasar prosesualnya dan tidak berakar pada sosial budaya yang ada. Pendidikan berjalan di luar alam sosial budaya masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan (dilatensikan) melalui proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak bersentuhan dengan persoalan kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat tersebut.

Salah satu platform penting lain yang juga diadopsi dalam rangka reformasi Pendidikan nasional adalah pengembangan Pendidikan berbasiskan Masyarakat ( Community Based Education). Tujuan pengembangan platform Pendidikan berbasis Masyarakat ini, adalah sebagai berikut

(1) membantu pemerintah dalam mobilisasi SDM setempat dan dari luar serta meningkatkan peranan Masyarkat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pendidikan disemua jenjang, jenis dan jalur Pendidikan
(2) Mendorong perubahan sikap dan persepsi Masyarakat terhadap rasa kepemilikan sekolah, tanggung jawab kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima sosial budaya.
(3) Mendukung inisiatif pemerintah dalam meningkatkan dukungan Masyarkat terhadap sekolah, khususnya orang tua dan anggota Masyarkat lainnya melalui kebijakan desentralisasi.
(4) Mendukung peranan Masyarakat mengembangkan inovasi kelembagaan untuk melengkapi, meningkatkan, dan mensinergikan dengan peran sekolah, dan untuk meningkatkan mutu dan relevansi, membuka kesempatan lebih besar dalam memperoleh Pendidikan.

5. Implementasi Pendidikan Berbasis Masyarakat

Lembaga Pendidikan berbasis Masyarakat pada jalur pendidikan formal dan non formal dapat memperoleh bantuan teknis, Subsidi dana dan Sumber daya lain yang tata cara mengenai bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lainnya tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

(1) Bantuan teknis, yaitu penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal berbasis masyarakat dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat berupa bantuan tenaga ahli serta pendidikan atau pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan.
(2) Subsidi dana penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal berbasis masyarakat yang bersumber dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah berupa biaya operasi.
(3) Sumber daya lain dalam penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal berbasis masyarakat dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat berupa pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan dan sarana dan prasarana pendidikan.

secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah

6. Kendala Implementasi Pendidikan Berbasis Masyarakat

Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala, S., 2004 adalah:

1) Sistem perencanaan, pengangguran dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah masih dari atas ke bawah (top down).
2) Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.
3) Sikap Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
4) Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar.
5) Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada hal-halyang bersifat kebutuhan badani / kebendaan.
6) Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita.
7) Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering berperilaku seperti birokrat.
8) Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang.
9) Keterbatasan anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan.
10) Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.

Sistem yang masih top down yang kurang memberikan ruang dan peluang perencanaan dari bawah, sehingga terjadi penyeragaman program serta penyeragaman sistem dan mekanisme pelaksanaan program mengakibatkan pertanggungjawaban keuangan tidak mengacu kepada hasil melainkan hanya kepada kelengkapan administrasi. Hal ini benar-benar mematikan kreativitas di lapangan dan membuka peluang untuk memanipulasi.

Kurangnya kepercayaan pemerintah kepada masyarakat untuk mengambil peran dalam melaksanakan program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat mengakibatkan terjadinya pemaksaan kehendak dan pengarbitan hasil program. Tugas melayani masyarakat yang belum dilaksanakan dan kecenderungan berperilaku sebagai penentu yang selalu ingin dihormati dan berkuasa karena mereka merasa memiliki dana menyebabkan timbulnya sikap apatis pada masyarakat dan menurunkan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi.

Kebutuhan masyarakat yang beragam dan merasa belum terlayani dengan baik menyebabkan gairah belajar masyarakat berkurang dan menimbulkan keengganan untuk mengikuti program belajar. Pola pikir masyarakat yang masih mementingkan kebutuhan kebendaan atau badani dan kurang memperhatikan pendidikan menyebabkan banyak anak yang tidak berkesempatan mengikuti program pendidikan dan mereka lebih disibukkan dengan kegiatan mencari nafkah.

Masyarakat masih memiliki budaya statis , merasa puas dengan apa yang ada, bersifat menunggu, menerima, dan kurang proaktif untuk mengambil prakarsa serta melakukan tindakan yang bermanfaat untuk masa depan menyebabkan sulitnya memperkenalkan teknologi baru kepada mereka. Tokoh panutan yang berperilaku seperti birokrat mengakibatkan masyarakat pendidikan enggan untuk mengoptimalkan peran masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program.

Kurangnya LSM mengakibatkan kelambatan dalam usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pendidikan berbasis masyarakat. Adanya keterbatasan anggaran, sarana prasarana dan tenaga kependidikan serta prosedur yang berbelit-belit dapat mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap program pendidikan berbasis masyarakat berkurang.

7. Langkah strategi reposisi Pendidikan Berbasis Masyarkat

Langkah Strategi Reposisi Pendidikan Berbasis Masyarkat adalah bagaimana aktualisasi pemerintah dalam menggalakan pendidikan berbasis Masyarakat dan Reaktifasi Masyarakat dalam mensukseskan pendidikan tersebut.

a. Bagaimana peran pemerintah dalam menggalakkan Pendidikan Berbasis Masyarakat?

Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing, U. 2001 adalah: peran sebagai pelayan masyarakat, peran sebagai fasilitator, peran sebagai pendamping, peran sebagai mitra dan peran sebagai penyandang dana.

1. Pelayan Masyarakat

Dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, sepat memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan utama.

2. Fasilitator

Pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.

Sebagai Pendamping, pemerintah harus melepaskan perannya dari penentu segalanya dalam pengembangan program belajar menjadi

3. Pendamping masyarakat

Pemerintah menjadi pendamping masyarkat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan. Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa ( bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat ( Ing ngarsa sung tulodo).

4. Mitra

Apabila kita berangkat dari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung dan tidak berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan yang akan menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan kreativitas masyarakat.

5. Penyandang Dana

Pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar untuk belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermatapencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan modal sebagai modal dasar untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan sebagai penyedia dana yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat.

B. Bagaimana partisipasi Masyarakat dalam menggalakkan Pendidikan Berbasis Masyarakat?

Partisipasi masyarakat sebagai kekuatan kontrol dalam pelaksanaan berbagai program pemerintah menjadi sangat penting. Di bidang pendidikan partisipasi ini lebih strategis lagi. Karena partisipasi tersebut bisa menjadi semacam kekuatan kontrol bagi pelaksanaan dan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah. Apalagi saat ini Depdiknas mulai menerapkan konsep manajemen berbasis sekolah. Karena itulah gagasan tentang perlunya sebuah Komite Sekolah yang berperan sebagai semacam lembaga yang menjadi mitra sekolah yang menyalurkan partisipasi masyarakat (semacam lembaga legislatif) menjadi kebutuhan yang sangat nyata dan tak terhindarkan. Dengan adanya komite sekolah, kepala sekolah dan para penyelenggara serta pelaksana pendidikan di sekolah secara substansial akan bertanggung jawab kepada komite tersebut.

Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah.

Kalau selama ini garis pertanggungjawaban kepala sekolah dan penyelenggara pendidikan di sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah, dalam hal ini kepada Dirjen Dikdasmen. Selama ini Komite Sekolah memang telah dibentuk oleh Pemerintah, tetapi perannya terbatas hanya untuk mengawasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Komite Sekolah yang baru ini tentu tidak terbatas hanya untuk mengawasi dana JPS saja, melainkan juga berperan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, berfungsi untuk terus menjaga transparansi dan akuntabilitas sekolah, serta menyalurkan partisipasi masyarakat pada sekolah.

Tentu saja Komite Sekolah ini mesti diawali dengan melakukan upaya optimalisasi organisasi orang tua siswa di sekolah. Upaya ini sangat penting lagi di saat keadaan budaya dan gaya hidup generasi kita sudah mulai tidak jelas sekarang ini. Dengan adanya upaya ini jalinan antara satu sisi, orang tua, dan di sisi lain sekolah, bisa bersama-sama mengantisipasi dan mengarahkan serta bersama-sama meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak di usia sekolah. Dengan demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama mulai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0293/U/1993 juga perlu disesuaikan dengan nuansa dan paradigma perkembangan pendidikan nasional. Karena itu, Komite Sekolah yang baru ini adalah gabungan peran dari Komite Sekolah JPS, Organisasi Orang Tua Siswa dan BP3. komite Sekolah yang baru ini bertujuan membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah dalam upaya ikut memelihara, menumbuhkan, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan nasional. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut tentu saja Komite Sekolah mesti melakukan berbagai upaya dalam mendayagunakan kemampuan yang ada pada orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, termasuk LSM-LSM yang memiliki concern di bidang pendidikan. Agar independensi komite ini tetap terjaga, maka tampaknya keanggotaan tidak lagi memasukkan aparat sekolah dan pemerintahan. Keanggotaan Komite Sekolah adalah orang tua siswa, tokoh masyarakat, pakar dan pengamat pendidikan, LSM-LSM, dan mungkin juga perwakilan-perwakilan dari organisasi masyarakat dan pemuda yang ada.

Tentu saja Kepala Sekolah harus membantu terbentuknya komite ini. Selanjutnya pembentukan komite dilaporkan kepada instansi/satuan kerja setempat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pendidikan. Namun demikian komite ini bersifat independen yang berkedudukan sebagai mitra sekolah dan berfungsi sebagai lembaga kontrol bagi sekolah. Komite Sekolah juga dapat memberikan masukan penilaian untuk pengembangan pelaksanaan pendidikan dan pelaksanaan manajemen sekolah. Komite sekolah nisa juga memberikan masukan bagi pembahasan atas usulan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).

Jika Komite Sekolah ini bisa dijalankan, berarti proses dan pelaksanaan pendidikan di sekolah akan berjalan sesuai prinsip demokrasi. Ini berarti lingkungan sekolah menjadi laboratorium dan contoh mikro dari realisasi masyarakat madani. Sebab, dengan demikian masyarakat sekolah berarti menjalankan fungsi legislatif-eksekutif, partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.

Hal-hal yang dapat didukung orang tua dalam mencapai tujuan pendidikan menurut Sergiovanni dalam Sagala, S., 2004 adalah pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.

8. Kesimpulan

Pendidikan berbasis Masyarakat merupakan trilogy peran serta masyarakat, yaitu dari Masyarakat, oleh Masyarakat dan untuk Masyarakat. Pendidikan dalam kebutuhan dasar masyarakat dalam meningkatkan kualitas sumber daya insani yang dapat memberikan kontribusi yang sangat besar dalam kehidupan. Pendidikan dari masyarakat diaktualisasikan dalam bentuk perencanaan pendidikan yang matang dan disalurkan dalam wadah komite sekolah dengan dukungan unsure sekolah sehingga adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan.

Diperlukan kerjasama yang sangat kompak antara pemerintah dan masyarakat dalam bentuk jobdeskription antara keduanya yang diindakasikan dalam bentuk manajemen pendidikan yang berbasis masyarakat. Konsep manajemen berbasis masyarakat sama halnya dengan MBS ( School Based Management )dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam peran sertanya dalam pendidikan.

Mal proses dan malproduk pendidikan diantaranya adalah ketidakseimbangan antara proses yang dilakukan di sekolah dengan kebutuhan masyarakat yang sangat diharapkan, maka ketidaksesuaian ini harus segera diperbaiki dengan sama-sama duduk dan duduk bersama dalam memikirkan konsep pendidikan ke depan.

Mudah-mudahan pendidikan kita yang selama ini masih belum membentuk seorang manusia yang multi talenta menjadi sesuatu yang bermakna dengan meningkatkan pola pendidikan yang berbasis masyarakat.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 4 Juli 2011 inci Materi Muliah

 

Manajemen Berbasis Sekolah : Model Strategi Mengembangkan Keunggulan Berbasis Kolaborasi

Latar Belakang

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu strategi wajib yang Indonesia tetapkan sebagai standar dalam  mengembangkan keunggulan  pengelolaan sekolah. Penegasan ini dituangkan dalam USPN Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 51 ayat 1 bahwa pengelolaan satuan pendidikan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.

MBS merupakan model aplikasi manajemen institusional yang mengintegrasikan  seluruh sumber  internal dan eksternal  dengan lebih menekankan pada pentingnya menetapkan kebijakan melalui  perluasan otonomi sekolah.  Sasarannya adalah mengarahkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan dalam rangka mencapai tujuan. Spesifikasinya berkenaan dengan visi, misi, dan tujuan yang dikemas dalam pengembangan kebijakan dan perencanaan (Wikipedia, 2009)

MBS juga merupakan salah satu model manajemen strategik. Hal ini berarti meningkatkan pencapaian tujuan melalui  pengerahan sumber daya internal dan eksternal. Menurut Thomas Wheelen dan J. David Hunger (1995), empat langkah utama dalam menerapkan perencanaan strategik yaitu (1) memindai lingkungan internal dan eksternal (2) merumuskan strategi yang meliputi perumusan visi-misi, tujuan organisasi, strategi, dan kebijakan (3) implementasi strategi meliputi penyusunan progaram, penyusunan anggaran, dan penetapan prosedur (4) mengontrol dan mengevaluasi kinerja.

MBS merupakan salah satu strategik meningkatkan keunggulan sekolah dalam mencapai tujuan melalui usaha mengintegrasikan seluruh kekuatan internal dan eksternal. Pengintegrasian sumber daya dilakukan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi atau kontrol. Strategi penerapannya dikembangkan dengan didasari asas keterbukaan informasi atau transparansi, meningkatkan partisipasi, kolaborasi, dan akuntabilitas.

Tantangan praktisnya adalah bagaimana sekolah meningkatkan efektivitas kinerja secara kolaboratif  melalui pembagian tugas yang jelas antara sekolah dan orang tua siswa yang didukung dengan sistem distribusi informasi, menghimpun informasi dan memilih banyak alternatif gagasan dari banyak pihak untuk mengembangkan mutu kebijakan melalui keputusan bersama.  Pelaksanaannya selalu berlandaskan  usaha meningkatkan partisipasi dan kolaborasi pada perencanaan, pelaksanaan kegiatan sehari-hari, meningkatkan penjaminan mutu sehingga pelayanan sekolah dapat memenuhi kepuasan konsumen.

Dalam menunjang keberhasilannya, MBS memerlukan banyak waktu dan tenaga yang diperlukan pihak eksternal untuk terlibat dalam banyak aktivitas sekolah.  Hal ini menjadi salah satu kendala. Tingkat pemahaman orang tua tentang bagaimana seharusnya berperan juga menjadi kendala lain sehingga partisipasi dan kolaborasi orang tua sulit diwujudkan. Karena itu, pada tahap awal penerapan MBS di Indonesia lebih berkonsentrasi pada bagaimana orang tua berpartisipasi secara finansial dibandingkan pada aspek eduktif.

Tujuan Penerapan MBS

MBS bertujuan untuk meningkatkan keunggulan sekolah melalui pengambilan keputusan bersama. Fokus kajiannya adalah bagaimana memberikan pelayanan belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa,  memenuhi kriteria yang sesuai dengan harapan orang tua siswa serta harapan sekolah dalam membangun keunggulan kompetitif dengan sekolah sejenis.

Tujuan SMA adalah melayani siswa agar dapat melanjutkan ke perguruan tinggi dan dapat memenuhi syarat kompetensi untuk dapat hidup mandiri. Siswa memiliki kompetensi sehingga dapat hidup dengan mangandalkan potensi dirinya secara kompetitif. Mutu sekolah ditentukan oleh seberapa besar daya sekolah untuk mewujudkan mutu lulusan sesuai dengan syarat yang ditentukan bersama. Hal ini sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Edward Sallis bahwa mutu adalah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan.

Kejelasan tujuan merupakan prasyarat efektifnya sekolah. Kriteria mutu  yang digambarkan dengan sejumlah kriteria pencapaian tujuan dengan indikator yang jelas menjadi bagian penting yang perlu sekolah rumuskan.

Keuntungan dengan memperjelas indikator dan kriteria mutu pada pencaian tujuan akan memandu sekolah memformulasikan strategi, mengimplementasikan strategi dan mengukur pencapaian kinerja.

Tujuan MBS adalah meningkatkan mutu keputusan untuk mencapai tujuan. Oleh karena, dalam pelaksanaan MBS memerlukan tujuan yang hendak dicapai secara jelas, jelas  indikatornya, jelas kriteria pencapaiannya agar keputusan lebih terarah.

Lebih dari itu dengan proses pengambilan keputusan bersama harus sesuai dengan kepentingan siswa belajar.  Dilihat dari sisi standardisasi, maka penerapan MBS berarti meningkatkan standar kinerja belajar siswa  melalu pengambilan keputusan bersama, meningkatkan partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, dan meningkatkan kontrol dan evaluasi agar lebih akuntabel.  Menyepakati profil hasil belajar yang diharapkan bersama merupakan dasar penting dalam melaksanakan MBS.

Partisipasi seluruh pemangku kepentingan berarti meningkatkan daya dukung bersama untuk meningkatkan mutu lulusan melalui peningkatan mutu pelayanan belajar dengan standar yang sesuai dengan harapan orang tua siswa yang ditetapkan menjadi target sekolah.

Manfaat Memiliki Tujuan Yang Jelas

Keuntungan dengan memperjelas indikator dan kriteria mutu pada pencapaian tujuan akan memandu sekolah memformulasikan strategi, mengimplementasikan strategi dan mengukur pencapaian kinerja.

Tujuan MBS adalah mengambil keputusan bersama untuk memperjelas tujuan, indikator, dan kriteria mutu yang ditetapkan sehingga  memiliki keunggulan yang kompetitif karena keputusan akan sesuai dengan kebutuhan pengembangan potensi dan prestasi siswa pada tingkat satuan pendidikan.

Dengan demikian partisipasi orang tua siswa dalam bentuk biaya merupakan bagian dari peningkatan standar mutu pengelolaan sekolah, yang lebih penting dari itu ialah bagaimana orang tua berperan dalam meningkatkan potensi peserta didik agar menjadi lulusan yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan harapan bersama.

Peta Keunggulan dan Pencitraan Sekolah

Thomas Sergiovanni dan Martin Burlingame (1997) mengembangkan model keunggulan sekolah dalam peta yang memiliki empat dimensi, yaitu dimensi pemerataan dan kunggulan dan efisensi dengan kebebasan. Peta persilangannya menghasilkan karater keungulan yang berbeda seperti di bawah ini.

Keunggulan

Efisiensi
  • Keunggulan
  • Efisiensi
  • (Birokratis – Elitis)
  • Keunggulan
  • Kebebasan
  • (Desentralisasi- Elitis)
Kebebasan
  • Pemerataan
  • Efisiensi
  • (Birokratis-liberal)
  • Pemerataan
  • Kebebasan
  • (Persamaan-liberal)

Pemerataan Akses

Keumggulan sekolah memiliki empat arah pengembangan  yang berbeda. Sekolah sebagai bagian dari instrumen pemerintah wajib membantu meningkatkan pemerataan akses sehingga tiap warga negara dapat bersekolah. Menyediakan akses merupakan bentuk kecukupan minimal pemenuhan kewajiban pemerintah. Wajib mengikuti pendidikan dasar contoh yang tepat.  Pada dimensi lain sekolah dapat mengembangkan mutu atau keunggulan sebagai tambahan atau nilai pembeda yang membuat sekolah memberikan tingkat kepuasan lebih.

Pengembangan sekolah yang memiliki potensi besar adalah mendapatkan kebebasan untuk berkreasi. Sebaliknya semakin terbatas sumber daya di sekolah semakin ketat menerapkan efisiensi. Sekali pun begitu efektivitas dan akuntabilitas sumber daya menjadi bahan pertimbangan lain yang menyebabkan kebebasan itu menjadi bukan tanpa batas.

Memadukan keunggulan dan efisiensi melahirkan model sekolah yang birokratis-elitis, perpaduan keunggulan dan kebebasan melahirkan tipe desentralisasi elitis, kebebasan dengan pemerataan akses melahirkan model sekolah yang medukung nilai persamaan-liberal, dan efisiensi dengan pemerataan melahirkan birokratis-liberal.

Pada beberapa  daerah pengembangan pendidikan yang semakin dibatasi dalam memperoleh anggaran dari masyarakat menghasilkan model pengelolaan yang bertipe birokratis liberal dengan sifat pengelolaan sekolah harus tunduk pada kebebasan para pengambil kebijakan politis yang mengejar citra populis.

Indikator Mutu Lulusan

Mutu pendidikan Indonesia menetapkan  indikator utama beriman-bertaqwa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab sebagai kompetensi utama manusia Indonesia. Potensi itu  diarahkan untuk mendukung daya saing siswa sehingga (1) lulus UN (2) memiliki daya saing dalam memperebutkan daya saing masuk perguruan tinggi bermutu  internasional (2) memiliki daya saing dalam lomba akademik taraf nasional maupun internasional (3) berkolaborasi pada taraf internasional.

Keunggulan siswa juga ditentukan oleh prestasinya dalam menguasai kompetensi pada seluruh mata pelajaran sesuai kurikulum, penguasaan bahasa Inggris  dan teknologi informasi dan komunikasi.

Bagaimana Menerapkan MBS?

Penerapan MBS sebagai salah satu model manajemen strategik dalam sistem pengelolaan pendidikan dengan tujuan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan yang berstandar maka terdapat beberapa langkah strategis yang perlu sekolah lakukan:

  • Merumuskan dan menyepakati standar lulusan yang diharapkan bersama dengan indikator dan target yang jelas yang merujuk pada standar nasional pendidikan.
  • Menetapkan strategi yang akan sekolah terapkan untuk menghasilkan lulusan yang diharapkan dan relevansinya dengan peningkatan kebutuhan kurikulum, kompetensi  pendidik, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, dan pembiayaan.
  • Meningkatan daya dukung informasi dengan cara memindai kekuatan, kelemahan lingkungan internal serta memindai peluang dan ancaman lingkungan eksternal. Penyediaan informasi yang tepat dan terpercaya merupakan bagian penting dalam menunjang sukses pengambilan keputusan.
  • Meningkatkan efektivitas komunikasi pihak internal dan  eksternal sekolah dalam upaya meningkatkan pemahaman mengenai tugas dan tanggung jawab masing-masing, serta dalam membangun dan mengembangkan kerja sama memberikan pelayanan pendidikan secara optimal kepada  siswa.
  • Meningkatkan daya kolaborasi sekolah dalam menerapkan keputusan bersama ini sebagai bagian dari upaya melibatkan seluruh warga sekolah agar memiliki daya partisipasi yang kuat untuk mengubah kebijakan menjadi aksi.

Dalam upaya peningkatan mutu MBS sekolah perlu meningkatkan standar pengelolaan untuk mendapatkan (1) visi dan misi sekolah yang diputuskan bersama. (2) menetapkan tujuan terutama merumuskan indikator dan target mutu lulusan (3) menetapkan strategi yang melibatkan semua pihak untuk mewujudkan tujuan yang sekolah harapkan yang berporos pada meningkatkan mutu lulusan (4) Menetapkan kebijakan dan program peningkatan mutu lulusan dengan menerapkan delapan standar nasional pendidikan sebagai rujukan mutu termasuk di dalamnya penetapan anggaran untuk menyediakan akses dan kecukupan standar serta menetapkan keunggulan yang mungkin sekolah wujudkan. Sekolah yang efektif memiliki dokumen program yang telah disepakati bersama  dan semua pihak yang terlibat memahami tugas masing-masing.

  • Melaksanakan kegiatan sesuai dengan program sesuai dengan standar, melaksanakan anggaran sesuai dengan yang disepakati, memanfaatkan seluruh sumber daya secara efektif dan efisien, dan memastikan bahwa seluruh tahap kegiatan yang dilaksanakan seusai dengan rencana.
  • Sekolah memastikan bahwa proses penyelenggaraan sekolah mengarah pada tercapainya tujuan dengan indikator dan target yang telah ditetapkan bersama. Sekolah juga melakukan studi bersama yang melibatkan seluruh unsur yang bertanggung jawab untuk meningkatkan penjaminan bahwa penyelenggaraan sekolah mencapai target yang diharapkan. Fokus utama penjaminan mutu adalah terselenggaranya pembelajaran dan pengelolaan secara efektif.
  • Melaksanakan kontrol sesuai dengan hasil kesepakatan bersama dan mengolah hasil evaluasi sebagai bahan perbaikan selanjutnya.

Untuk mendukung efektifnya empat tahap kegiatan itu perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang beberapa hal berikut :

  • Mendeskripsikan lulusan dengan indikator yang jelas yang diikuti dengan indentifikasi kebutuhan kurikulum, kompetensi pendidik, sarana, biaya, dan sistem pengelolaan.
  • Meningkatkan keberdayaan sekolah dalam mengembangkan sistem informasi sebagai bahan pengambilan keputusan.
  • Menyediakan  infomasi yang perlu dipahami oleh seluruh anggota komunitas agar tiap orang dipastikan dapat melaksanakan tugasnya secara optimal.
  • Meningkatkan kegiatan sosialisasi program sehingga semua pihak dipastikan mendapatkan informasi secara transparan dan akuntabel.
  • Meningkatkan kekerapan dan kedalaman  komunikasi baik secara langsung maupun komunikasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
  • Mengembangkan tim pengembang mutu yang akan mengimplementasikan kegiatan yang melibatkan pihak internal dan eksternal.
  • Mempersiapkan instrumen pengukuran pencapaian kinerja baik terhadap proses maupun hasil dengan indikator yang transparan sehingga semua pihak memahami betul ukuran keberhasilan yang disepakati.
  • Melaksanakan pertemuan mengembangakan  rencana kegiatan, evaluasi kegiatan, dan evaluasi hasil.
  • Menyusun pertanggung jawaban program secara transparan dan akuntabel.
  • Melakukan perbaikan berkelanjutan.

Mudah-mudahan langkah-langkah praktis yang telah tersusun pada tulisan ini dapat menjadi panduan para kepala sekolah dalam melaksanakan tugas menerapkan standar nasional pendidikan dengan melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah secara efektif.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 4 Juli 2011 inci Materi Muliah

 

Manajemen Berbasis Sekolah 2


BELAJAR DARI PENGALAMAN ORANG LAIN
Agus Dharma
Pusdiklat Pegawai Depdiknas

Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.

Manfaat MBS

MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.

Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.

Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakan-nya.

Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.

Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut(Kathleen, ERIC_Digests, downloaded April 2002).

. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.

. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.

. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.

. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.

. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.

. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.

Pengaruh MBS Terhadap Peran Pemerintah Pusat, Daerah, dan Dewan Sekolah.

Apa pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?

Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.

MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mecakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan ban tuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.

Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah. Ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.

Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.

Pengambilan Keputusan di Tingkat Sekolah.

Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid di tingkat sekolah menengah. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.

Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.

Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.

Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.

Syarat Penerapan MBS

Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.

Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.

. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.

Hambatan Dalam Penerapan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut.

Tidak Berminat Untuk Terlibat

Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.

Tidak Efisien

Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.

Pikiran Kelompok

Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

Memerlukan Pelatihan

Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru

Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

Kesulitan Koordinasi

Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.

Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

MBS dan Prestasi Belajar Murid

MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.

Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar muird. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, downloaded April 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasi-kan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.

Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.

Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.

Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.

Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih kolegial dan lebih sedikit murid yang bermasalah.

Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.

Kenapa MBS Tidak Berpengaruh Terhadap Prestasi Belajar?

Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.

Acapkali, Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.

Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.

Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar?

MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung gugat atas kinerja mereka.

Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.

Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 4 Juli 2011 inci Materi Muliah

 

Manajemen Berbasis Sekolah


BELAJAR DARI PENGALAMAN ORANG LAIN
Agus Dharma
Pusdiklat Pegawai Depdiknas

Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.

Manfaat MBS

MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.

Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.

Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakan-nya.

Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.

Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut(Kathleen, ERIC_Digests, downloaded April 2002).

. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.

. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.

. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.

. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.

. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.

. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.

Pengaruh MBS Terhadap Peran Pemerintah Pusat, Daerah, dan Dewan Sekolah.

Apa pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?

Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.

MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mecakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan ban tuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.

Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah. Ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.

Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.

Pengambilan Keputusan di Tingkat Sekolah.

Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid di tingkat sekolah menengah. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.

Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.

Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.

Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.

Syarat Penerapan MBS

Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.

Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.

. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.

Hambatan Dalam Penerapan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut.

Tidak Berminat Untuk Terlibat

Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.

Tidak Efisien

Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.

Pikiran Kelompok

Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

Memerlukan Pelatihan

Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru

Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

Kesulitan Koordinasi

Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.

Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

MBS dan Prestasi Belajar Murid

MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.

Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar muird. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, downloaded April 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasi-kan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.

Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.

Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.

Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.

Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih kolegial dan lebih sedikit murid yang bermasalah.

Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.

Kenapa MBS Tidak Berpengaruh Terhadap Prestasi Belajar?

Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.

Acapkali, Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.

Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.

Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar?

MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung gugat atas kinerja mereka.

Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.

Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 4 Juli 2011 inci Materi Muliah

 

PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN UNTUK SEKOLAH EFEKTIF

Oleh: Slamet Lestari (
ABSTRACT
Effective educational leader must be able to combine and create synergy role as chief
executive and leading professional. Education leaders have a responsibility to create an
organizational culture that enhances the development and growth of the organization.
Characteristic of educative leader is the leader provides opportunities for school members to
develop self-understanding and push on to reflect conditions in practice. Education leaders have
three main roles: the areas of leadership, managerial, and curriculum-teaching. These three roles
(including those aspects in it) must be able to run an effective school principal so that support
school improvement.
Pendahuluan
Sekolah dapat dikatakan efektif apabila terdapat kesesuaian dan ketepatan antara tujuan dan
pencapaiannya. Efektivitas tidak berarti menggambarkan keseluruhan aspek yang ada, tetapi
sebuah sekolah, mungkin “efektif sebagian” artinya sekolah efektif dalam mencapai satu atau
lebih aspek tertentu, tetapi tidak efektif dalam pencapaian bidang yang lain. Bagi sekolah,
pengelolaan sekolah dengan menggunakan manajemen partisipasi dan transparansi perlu menjadi
landasan kerja bagi semua warga sekolah.
Di negara kita, model sekolah efektif secara kebijakan maupun praktiknya terwadahi dalam
program Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau MPMBS (Depdiknas, 2002:14).
Pada sekolah efektif, kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan,
menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan
kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat
mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang
dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki
kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan
inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah tangguh
memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah, terutama sumberdaya manusia, untuk
mencapai tujuan sekolah.
Pemimpin Pendidikan: Integrasi Multi-Ketrampilan
Pemimpin pendidikan perlu memiliki integrasi ketrampilan teknis, pedagogis, profesional
dan manajerial, sebagaimana Hughes (1988) uraikan sebagai ’professional-as-administrator’ yang
mencakup dualitas peran sebagai pimpinan eksekutif (chief executive) dan memimpin secara
profesional (leading professional), dalam aspek internal maupun eksternal (gambar 1). Untuk
menjadi pemimpin pendidikan yang efektif harus mampu mengkombinasikan dan menciptakan
sinergi kedua aspek tersebut. Selain itu, pemimpin pendidikan harus mampu menggunakan
berbagai sumberdaya material dan manusia secara kreatif, melibatkan anggota organisasi sesuai
peran masing-masing dalam pengambilan kebijakan (pendekatan partisipatif). Dari beberapa hasil
riset, diidentifikasi bahwa kombinasi kepemimpinan kepala sekolah yang profesional, harapan
tinggi (partisipasi) warga sekolah, dan budaya sekolah yang positif merupakan faktor penentu
efektivitas sekolah.
|Kepemimpinan Pendidikan |
|Chief executive officer |Leading professional |
|Peran Internal |Peran Internal |
| | |
|Ahli strategi (Strategist): |Penasihat (Mentor): memberi |
|mengartikulasikan arah dan fokus|bimbingan profesional kepada |
|strategis organisasi; bertindak |bawahan |
|sebagai katalisator pengembangan|Pendidik (Educator): |
| |mempertunjukkan kemampuan teknis |
|Manajer (Manager): |dan ketrampilan pengajaran |
|mengalokasikan dan mengkoordinir|Penasehat (Advisor): mendukung |
|bidang fungsi organisasi |dan memberi arahan kepada para |
|Wasitr (Arbitrator): bertindak |murid, orangtua, guru, dll |
|sebagai perantara organisatoris | |
|dan wasit | |
|Peran Eksternal |Peran Eksternal |
| | |
|Petugas eksekutif (Executive |Duta besar (Ambassador): duta |
|officer): bertanggung-jawab |organisasi dalam cakupan luas |
|kepada pemerintah |aktivitas profesional eksternal |
|Diplomat (Diplomat): |Pengacara (Advocate): jurubicara |
|mengartikulasikan misi dan |kelembagaan berbagai permasalahan|
|melakukan hubungan dengan |pendidikan dan bidang profesional|
|masyarakat (stakeholders) dan |lainnya |
|badan eksternal | |
Gambar 1.
Kepemimpinan Pendidikan: Dualitas Peran (Law & Glover: 2000)
Pemimpin Pendidikan: “Culture Creator”
Menurut Duignan & Macpherson efektivitas sekolah menekankan pentingnya apa yang
terjadi di dalam kelas dan kepemimpinan pendidikan yang menyediakan suatu kultur di dalam
proses belajar mengajar, oleh karenanya, pemimpin pendidikan memiliki tanggung jawab untuk
menciptakan kultur organisasi yang mempertinggi pengembangan dan pertumbuhan organisasi
(Bush & Coleman, 2000). Kualitas yang diidentifikasi oleh Duignan dan Macpherson pada
pemimpin pendidikan (educative leader), serupa dengan pemimpin transformational, yang
menekankan pada pemimpin yang mendorong dan memberdayakan tanggung jawab bawahan,
dengan:
1. Menciptakan peluang untuk peserta (partisipan) dalam proses perubahan untuk merefleksikan
praktek mereka dan mengembangkan pemahaman pribadi menyangkut implikasi dan
perubahan diri mereka;
2. Mendorong mereka yang terlibat dalam implementasi suatu peningkatan untuk membentuk
kelompok sosial dan menyediakan dukungan timbal balik sepanjang proses perubahan;
3. Menyediakan peluang umpan balik positif untuk semua yang terlibat dalam perubahan; dan
4. Sensitip pada hasil pengembangan proses dan menyediakan kondisi-kondisi penting bagi umpan balik dan tindak lanjut sehingga yang terlibat memiliki kesempatan mendiskusikan dan
memikirkan kembali gagasan dan praktek mereka.
Fiedler (1997) mencatat implikasi di atas untuk kepemimpinan pengajaran mencakup: 1)
Mengelola pengajaran dan kurikulum; 2) Pengawasan pengajaran; 3) Monitoring kemajuan siswa;
dan 4) Menyediakan iklim mengajar yang mengajar. Northfield menambahkan bahwa kunci corak
pemimpin mendidik (educative leader) adalah pemimpin menyediakan peluang untuk peserta
mengembangkan pemahaman pribadi dan mendorong pada kondisi-kondisi untuk merefleksikan
dalam praktek (Bush & Coleman, 2000).
Tiga Peran Utama Pemimpin Pendidikan
Menurut Lunenberg & Orstein (2000) secara garis besar pemimpin pendidikan memiliki
tiga peran utama: bidang kepemimpinan, managerial, dan kurikulum-pengajaran. Berikut akan
dijelaskan masing-masing peran tersebut.
1. Peran kepemimpinan kepala sekolah
a. Kepala sekolah merupakan kunci dalam membentuk kultur sekolah. Kepala sekolah harus
dapat membentuk budaya positif, di mana staf berbagi pengertian, dan memiliki dedikasi
untuk peningkatan sekolah dan pengajaran. Sukses siswa disoroti dan kolegialitas
menyebar keseluruh bagian sekolah. Moril tinggi, kepedulian, dan memiliki komitmen.
b. Kepala sekolah harus dapat menjalin hubungan dengan kelompok, internal dan eksternal
sekolah, seperti (1) pengawas dan pengelola pendidikan pusat, (2) dewan sekolah, (3)
teman sejawat, (4) orang tua, (5) masyarakat sekitar, (6) guru, (7) siswa, dan (8) kelompok
eksternal seperti profesor, konsultan, badan akreditasi, dan sebagainya. Kepala sekolah
yang efektif perlu untuk percaya pada kemampuan diri dan mampu mensinergikan
persepsi, harapan, maupun kemampuan berbagai kelompok tersebut dapat memberi
dukungan terhadap kemajuan sekolah.
2. Peran manajerial kepala sekolah
a. Peran manajerial merupakan aspek utama kepemimpinan sekolah. Katz dan Kanz
membagi ketrampilan manajemen ke dalam tiga area utama: (1) teknis (technical),
mencakup teknik proses manajemen (perencanaan, pengaturan, koordinasi, pengawasan,
dan pengendalian), (2) manusia (human), ketrampilan hubungan antar manusia,
memotivasi dan membangun moral, (3) konseptual (conceptual), menekankan pengetahuan
dan teknis terkait jasa (atau produk) tentang organisasi. Sergiovanni menambahkan dua
area lain manajemen untuk pengurus sekolah, yaitu kepemimpinan simbolis (symbolic
leadership), tindakan kepala sekolah memberi teladan (model) kepada warga sekolah, dan
kepemimpinan budaya (cultural leadership), bahwa kepercayaan dan nilai-nilai kepala
sekolah merupakan unsur penting. Fullan dan Sarason menambahkan suatu dimensi
manajemen sekolah yaitu kepala sekolah sebagai agen perubahan (change agent) dan
fasilitator.
b. Secara umum, kepala sekolah harus “memimpin dari pusat” (lead from the centre):
demokratis, mendelegasikan tanggung-jawab, memberi kuasa dalam pengambilan
keputusan, dan mengembangkan usaha kolaboratif yang mengikat siswa, guru, dan orang
tua. Hal tersebut mengandung arti bahwa pemimpin dalam segala hal hendaknya ada di
tengah komponen organisasi (partisipatif).
c. Lipham mengembangkan sebuah “teori empat faktor “ (four-factor theory) tentang
kepemimpinan untuk kepala sekolah, yaitu (1) kepemimpinan struktural, (2)
kepemimpinan fasilitatif, (3) kepemimpinan yang mendukung, dan (4) kepemimpinan
partisipatif. Semua faktor kepemimpinan tersebut menekankan ketrampilan managerial dan
administratif. Kebehasilan kepala sekolah adalah dapat memodifikasi atau menyesuaikan
empat faktor kepemimpinan sesuai kebutuhan sekolah.
3. Peran kurikulum-pengajaran kepala sekolah
Bidang kurikulum-pengajaran hendaknya menjadi prioritas kerja utama kepala sekolah
sehingga dapat meningkatan mutu pendidikan di sekolahnya. Murphy mengembangkan enam
peran kepala sekolah dibidang kurikulum dan pengajaran, yaitu: (1) menjamin kualitas
pengajaran, (2) mengawasi dan mengevaluasi pengajaran, (3) mengalokasi dan melindungi waktu
pengajaran, (4) mengkoordinir kurikulum, (5) memastikan isi matapelajaran tersampaikan, dan (6)
monitoring kemajuan siswa. Menurut Murphy, enam peran tersebut menggambarkan suatu contoh
kepala sekolah efektif.
Penutup
Dari uraian mengenai kepemimpinan pendidikan untuk sekolah efektif di atas maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1. Pemimpin pendidikan yang efektif harus mampu mengkombinasikan dan menciptakan sinergi
peran sebagai chief executive dan leading professional.
2. Pemimpin pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kultur organisasi yang
mempertinggi pengembangan dan pertumbuhan organisasi.
3. Ciri khas pemimpin pendidikan (educative leader) adalah pemimpin menyediakan peluang
untuk warga sekolah mengembangkan pemahaman diri dan mendorong pada kondisi-kondisi
untuk merefleksikan dalam praktek.
4. Pemimpin pendidikan memiliki tiga peran utama: bidang kepemimpinan, managerial, dan
kurikulum-pengajaran. Ketiga peran tersebut (termasuk aspek-aspek di dalamnya) harus
mampu dijalankan kepala sekolah secara efektif sehingga mendukung kemajuan sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Bush, and Coleman. 2000. Leadership and Strategic Management in Education. Houston: Gulf
Publising.
Fiedler, Fred R. 1997. A Theory of Leadership Effectiveness. New York: McGraw-Hill Book Co.
Hughes, Richard C. 1988. Leadership: Enhancing The Lessons of Experience. Boston: McGraw-
Hill/Irwin.
Law, and Glover. 2000. Educational Leadership & Learning. New York: Dryden Press.
Lunenberg, F.C. and Orstein, A.C. 2000. Educational Administration: Concepts and Practices.
3th Edition. Belmont, CA: Wadsworth Thomson Learning.
( ) Staf Pengajar Jurusan Administrasi Pendidikan

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 4 Juli 2011 inci Materi Muliah

 

Teori-teori Kepemimpinan


  1. Studi tentang bagaimana kepemimpinan itu menjadi efektif atau bagaimana seseorang itu bisa muncul menjadi pemimpin yang efektif dalam suatu organisasi, telah melahirkan beragam teori. Paling tidak ada tiga macam teori kepemimpinan yang cukup terkenal, yaitu: Teori Sifat, Perilaku, dan Situasional-Contingency.

    1. Teori Sifat
    Menurut teori ini pemimpin itu muncul karena ia memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan dapat memimpin para pcngikutnya. Edwin Ghiselli menunjukkan sifat-sifat tertentu yang penting untuk kepemimpinan efektif, antara lain:
    a. Kemampuan dalam kedudukannya sebagai pengawas (supervisory ability) atau pelaksanaan fungsi-fungsi dasar manajemen, terutama pengarahan dan pengawasan pekerjaan orang lain.
    b. Kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, mencakup pencarian tanggung jawab dan kcinginan sukses.
    c. Kecerdasan, mencakup kebijakan, pemikiran kreatif dan days pikir.
    d. Ketegasan (decisiveness), atau kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan memecahkan masalah-masalah dengan cakap dan tepat.
    e. Kepercayaan diri, atau pandangan terhadap dirinya sebagai kemampuan untuk menghadapi masalah.
    f. Inisiatif, atau kemampuan untuk hertindak tidak tergantung, mengemhangkan serangkaian kegiatan dan menemukan cara-cars barn atau inovasi.

    Sedangkan menurut Keith Davis, ada 4 (empat) sifat utama, yaitu:
    a. Kecerdasan
    b. Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial,
    c. Motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan
    d. Sikap-sikap hubungan manusiawi. (Hani Handoko, 1990: 297)
    Tcori sifat ternyata mcmiliki keterbatasan-keterbatasan. Sebab dalam kenyataannya, para pemimpin memiliki sifat-sifat yang berbeda. Dan hanyak kasus, seorang pemimpin bisa sukses di suatu tempat, tetapi tidak sukses di tempat atau situasi lain .

    2. Teori Perilaku
    Menurut teori perilaku, pemimpin itu sukses tergantung apa yang dilakukan, yakni bagaimana mereka mendelegasikan tugas, berkomunikasi dengan dan memotivasi bawahan, menjalankan berbagai tugas, dan sebagainya. Perilaku-perilaku ini dapat dipelajari atau dikembangkan. Sehingga individu-individu dapat dilatih dengan perilaku¬perilaku kepemimpinan yang tepat.
    Teori perilaku memusatkan perhatiannya pada dua aspek perilaku kepemimpinan, yaitu fungsi-fungsi dan gaya-gaya kepemimpinan. Fungsi-fungsi yang harus dilakukan pemimpin agar kelompok berjalan efektif yaitu: 1) fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (“task-related’) atau pemecahan masalah, dan 2) fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok (“group-maintenance’) atau sosial. Sedangkan gaya-gaya kepemimpinan meliputi gaya dengan orientasi tugas (task-oriented) dan gaya dengan orientasi karyawan (employee-oriented).
    Gaya-gaya kepemimpinan itu dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia/bawahan berdasarkan teori X dan Y.
    Teori X beranggapan bahwa:
    a. Rata-rata pembawaan manusia malas atau tidak menyukai pekerjaan dan akan menghindarinya bila mungkin.
    b. Karena karakteristik manusia tersebut, orang harus dipaksa, diawasi, diarahkan, atau diancam dengan hukuman agar mereka menjalankan tugas untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.
    c. Rata-rata manusia lehih menyukai diarahkan, ingin menghindari tanggung jawab, mempunyai ambisi relatif kecil, dan menginginkan keamanan/jaminan hidup di atas segalanya.
    Pemimpin yang menganut anggapan-anggapan teori X akan cenderung menyukai gaya kepemimpinan otokratik.
    Teori Y beranggapan bahwa:
    a. Penggunaan usaha phisik dan mental dalam bekerja adalah kodrat manusia, seperti bermain atau istirahat.
    b. Pengawasan dan ancaman hukuman eksternal bukanlah satu-satunya cara untuk mengarahkan usaha pencapaian tujuan organisasi. Orang akan melakukan pengendalian diri dan pengarahan diri untuk mencapai tujuan yang telah disetujuinya.
    c. Keterikatan pada tujuan merupakan fungsi dari penghargaan yang berhubungan dengan prestasi mereka.
    d. Rata-rata manusia, dalam kondisi yang layak, belajar tidak hanya untuk menerima tetapi mencari tanggung jawab.
    e. Ada kapasitas besar untuk melakukan imajinasi, kecerdikan dan kreatifitas dalam penyelesaian masalah-masalah organisasi yang secara luas tersebar pada seluruh karyawan.
    f. Potensi intelektual rata-rata manusia hanya digunakan sebagian saja dalam kondisi kehidupan indusrri modern.
    Pemimpin yang mengikuti teori Y akan lebih menyukai gaya kepemimpinan partisipatif atau demokratik. (Hani Handoko, 1990: 300-301)

    3. Teori Situasional-Contingency
    Teori situasional-cintingency menyatakan bahwa pemimpin efektif itu tergantung pada banyak faktor, seperti situasi, karyawan, tugas, organisasi dan variabel-variabel lingkungan lainnya. Mary Parker Follet, yang mengembangkan hukum situasi, mengatakan bahwa ada tiga variabel kritis yang mempengaruhi gaya kepemimpinan, yaitu: 1) pemimpin, 2) pengikut atau bawahan, dan 3) situasi. Ketiganya saling berhubungan dan berinteraksi.
    Tujuan Kepemimpinan

    Tujuan kepemimpinan dalam manajemen adalah untuk meningkatkan performansi manusia dan mesin, memperbaiki kualitas yang ada, meningkatkan output dan produktiftas, serta secara simultan mampu menciptakan kebanggaan kerja (pride of workmanship) bagi pekerja (Vincent Gaapersz, 1997: 199)
    Kepemimpinan dalam manajemen bukan untuk menemukan dan mencatat kegagalan yang dibuat pekerja serta kemudian menghukum pekerja itu, tetapi untuk mengidentifikasi dan kemudian menghilangkan penyebab kegagalan itu, serta membantu pekerja agar mampu mengerjakan pekerjaan secara lebih baik dengan memperhatikan efektivitas (pencapaian tujuan) dan efisiensi (penggunaan biaya) dalam setiap aktivitas yang dilakukan.

    Kriteria kepemimpinan efektif

    Kepemimpinan yang efektif menurut konsep manajemen kualitas adalah kepemimpinan yang sensitif atau peka terhadap perubahan dan melakukan pekerjaannya secara terfokus. Memimpin berarti menentukan hal-hal yang tepat untuk dikerjakan, menciptakan dinamika organisasi yang dikehendaki agar semua orang memberikan komitmen, bekerja dengan semangat dan antusias untuk mewujudkan hal-hal yang telah ditetapkan. Memimpin berarti jugs dapat mengkomunikasikan viii dan prinsip perusahaan kepada seluruh karyawan. Kegiatan memimpin termasuk menciptakan budaya atau kultur positif dan iklim yang harmonia dalam lingkungan perusahaan, serta menciptakan tanggung jawab dan pemberian wewenang dalam pencapaian tujuan bersama (empowerment). Terdapat hubungan tanggung jawab dan wewenang dengan derajat atau tingkat pemberdayaan (amount of empowerment) karyawan dalam organisasi yang menerapkan manajemen kualitas. (Vincent Gaapersz, 1997: 199).
    Perbedaan Tugas Pemimpin dan Manajer

    Terdapat sejumlah perbedaan tugas pemimpin dibandingkan dengan manajer dalam manajemen kualitas seperti tetrera dalam tabel berikut (Vincent Gaapersz, 1997: 201):

    Perbedaan Tugas Pemimpin dan Manajer

Tugas Pemimpin

  1.  Mengembangkan visi serta menetapkan arah strategi perusahaan untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang dibutuhkan agar mencapai visi itu.
  2.  Mengkomunikasikan tujuan yang ingin dicapai melalui pemyataan dan perbuatan (tindakan) kepada siapa saja yang mungkin diperlukan untuk memberikan pengaruhnya bagi
    pembentukan tim yang memahami visi dan strategi perusahaan, serta menerima
    kebenarannya.
  3.  Memberikan motivasi bagi orang-orang untuk mengarasi hambatan-hamhatan
    dalam peruhahan manuju perbaikan dengan cara memenuhi kebutuhan manusia yang sangat mendasar yang sering kali tidak terpenuhi.
  4. Menciptakan peruhahan seringkali dalam taraf yang dramatis untuk menghasilkan perubahan yang sangat berguna bagi kemajuan perusahaan. Sebagai misal: diinginkan pelanggan, pendekatan baru dalam hubungan kerja yang akan membantu perusahaan agar lebih mampu berkompetisi, dll.

Tugas Manajer

  1. Menetapkan rencana dan mengalokasikan sumber daya yang ada untuk mewujudkan rencana itu .
  2. Menetapkan struktur organisasi untuk mencapai persyaratan yang telah direncanakan dan menempatkan orang-orang
    yang sesuai dengan struktur yang ada, mendelegasikan tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan apa yang telah direncanakan, menetapkan kebijaksanaan dan prosedur untuk  membantu memberikan panduan
    bagi orang-orang dan menciptakan
    metode untuk memantau
    pelaksanaannya.
  3. Memantau hasil-hasil kemudian dibandingkan terhadap rencana dan
    Mengidentifikasi penyimpangan penyimpanganyang terjadi serta
    kemudian emmbuat perencanaan
    dan pengorganisasian untuk
    menyelesaikan maslah-masalah yang
    ada.
  4. Menciptakan suatu taraf yang telah
    direncanakan untuk tetap
    menghasilkan output yang sesuai
    dengan kebutuhan pelanggan.

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 4 Juli 2011 inci Materi Muliah

 

MENUJU KEHIDUPAN HARMONIS DALAM MASYARAKAT YANG MAJEMUK

Suatu Pandangan Tentang Pentingnya Pendekatan Multikultur dalam Pendidikan  di Indonesia

Oleh : Dadang Sudiadi

 

A.     Latar Belakang

 

Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan , kelompok dan agama, dan strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupaka suatu kewajaran sejauh perbedaan-perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati. Namun ketika perbedaan-perbedaan tersebut mengemuka dan kemudian menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup, maka perbedaan tersebut menjadi masalah yang harus diselesaikan.

Beberapa peristiwa amuk massa di beberapa daerah di Indonesia, terlihat jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut, dimana salah satunya adalah perbedaan agama. Seperti kerusuhan di lampung, tahun 1989; kerusuhan di Timor-Timur, tahun 1985, kerusuhan di Rengasdengklok, tahun 1997; kerusuhan di makassa, tahun 1997, Kerusuhan di Ambon, 1998, di Poso, kerusuhan Ketapang dan  Kupang serta beberapa daerah lainnya.

Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia sekarang ini, memungkinkan sekali untuk terjadinya konflik antar agama atau konflik antar umat beragama. Walaupun sebenarnya secara laten konflik-konflik tersebut telah ada jauh sebelum era reformasi berembus. Banyak sekali kejadian yang bernuansa perbedaan agama terjadi. Seperti peristiwa pembakaran kantor Tabloid Monitor di Jakarta, yang disangka mendiskreditkan Nabi Muhammad Saw, begitu juga Tabloid Senang. Lain dari itu, brosur-brosur , leaflet-leaflet yang mendiskreditkan agama tertentu, serta materi-materi dakwah yang memicu dan memacu kemungkinan  terjadinya konflik antar agama juga kerap sekali terjadi. Banyak pemuka agama yang dengan dalih sedang melakukan konsolidasi umat, mereka rela dan berani  mendiskreditkan umat penganut  agama lainnya. Terakhir isue tentang pendidikan agama di sekolah yang mewajibkann setiap sekolah menyediakan pengajar agama bagi siswa-siswi yang beragama tertentu.

Konflik yang bernuansa agama berkorelasi kuat dengan faktor non agama. Beberapa konflik yang terjadi membuktikan hal tersebut, termasuk konflik Ketapang. Agama biasanya merupakan faktor pemicu kerusuhan, yang sebelumnya didahului dengan konflik yang bernuansa ekonomi, seperti rebutan lahan parkir, rebutan wilayah dan faktor lainnya yang lebih ekonomis dari pada politis. Dengan kata lain, sebenarnya, konflik kecil acap terjadi.

Dalam melihat konflik dan potensi konflik antar kelompok, golongan dan agama di Indonesia, perlu dipahami sebagai suatu hal yang dinamis. Perubahan sosial dan politik yang terjadi di Indonesia yang begitu cepat, terutama setelah era reformasi, juga turut memperkuat polarisasi konflik sosial termasuk konflik antar kelompok umat beragama. Kesenjangan yang makin menganga  antar kelompok sosial dan biasanya kelompok sosial ini juga acap dilekatkan dengan penganut agama mayoritas. Keterbelakangan dan pembaruan yang tidak simultan dapat memperkeruh suasana disharmoni, serta dapat merusak tatanan sosial atau tatanan hubungan antar kelompok sosial dan antar kelompok umat beragama.

Masyarakat Indonesia yang multikultur, multi ras dan multi agama, memiliki potensi yang besar untuk terjadinya konflik antar kelompok, ras, agama dan suku bangsa. Indikasi ke arah itu terlihat dari tumbuh suburnya berbagai organisasi kemasyarakatan , profesi, dan organisasi lainnya. Contoh seperti FPI, Laskar Jihad, FBR dan kelompok lainnya yang berjuang dan bertindak atas nama kepentingan kelompoknya atau kepentingan lainnya. Lain dari itu muncul juga berbagai macam aliran keagamaan.

Beragam kelompok ini secara sosial menyebabkan tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai baru melalui berbagai proses yang menuntut adanya institusionalisasi kepentingan. Tapi juga dapat berupa munculnya konflik-konflik baru, karena kelompok lain, golongan lain, agama lain, merasa bahwa kehadiran mereka menjadi ancaman bagi tatanan masyarakat yang sudah ada dan ajeg serta kepentingan dari kelompok lainnya. Yang berkembang adalah sikap etnosentrisme, yang menganggap hanya kelompoknya saja, golongannya saja yang paling baik dan sempurna, sementara yang lain jelek, salah, dan berbagai kekurangan lainnya(Zastrow, 2000, 157);  serta  stereotipe, yang mengembangkan gambaran tentang tipe-tipe masyarakat tertentu dengan  karakteristik tertentu. Misalnya orang Batak itu kasar; orang Padang itu licik, orang Sunda itu lelet dan lain-lain.

Perbedaan-perbedaan kepentingan, pandangan, nilai akan menimbulkan perbedaan persepsi atas sesuatu yang kemungkianan besar akan menyebabkan munculnya reaksi berdasarkan persepsi tersebut terhadap sesuatu itu. Hal ini dapat dan menimbulkan konflik yang mungkin akan bermuara pada kerusuhan. Beberapa peristiwa konflik antar kelompok, golongan, ras dan agama, menunjukkan hal-hal tersebut. Lihat saja konflik Ketapang  yang kemudian melebar ke beberapa tempat di Jakarta, Bekasi bahkan Ambon , Kupang dan Poso.

Hal itu menunjukkan bahwa sentimen dan kepercayaan yang berlebihan tentang keyakinan masyarakat terhadap salah satu kelompok, golongan dan atau agama akan menimbulkan konflik, baik yang bernuansa sosil-ekonomi, politik maupun agama. Bukti ini juga sekaligus menunjukkan  bahwa potensi konflik itu ada diberbagai bidang. Oleh karena itu  perlu adanya upaya yang simultan  dilakukan agar konflik yang potensial tersebut  dikelola secara seksama , baik oleh pemerintah daerah, masyarakat maupun aparat penegak hukum. Yang tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga pendidikan dan proses pembelajaran yang terjadi di dalamnya. Bahkan kita semua perlu bertanya ada apa dengan sistem pendidikan kita ? Mengapa sebagaian masyarakat Indonesia mudah sekali untuk melakukan kerusuhan ? Bagaimana model pendidikan yang dapat menghindari terjadinya konflik sosial ?

 

B.     Kemajemukan Indonesia dan Konflik Sosial

 

Sebuah masyarakat yang majemuk didalamnya akan terkandung berbagai kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang adat istiadat, budaya, agama dan kepentingan . Seperti yang disampaikan oleh Furnival bahwa masyarakat majemuk (plural societies) adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu dengan lainnya di dalam suatu kesatuan politik (Nasikun, 1986, hal 31). Masyarakat yang majemuk biasanya menghadapi tantangan ketidakharmonisan dan perubahan yang terus menerus. Sedangkan menurut Piere L. van Berghe, masyarakat majemuk memiliki sifat dasar sebagai berikut  (Nasikun, 1985, hal 67-68 dan Nitibaskara, 2002, hal 7) :

  1. Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok –kelompok  yang sering kali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang  berbeda satu sama lain.
  2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
  3. Di antara anggota masyarakat kurang mengembangkan konsensus atas nilai-nilai sosial dasar.
  4. Secara reaktif sering kali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
  5. Secara reaktif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi
  6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.

 

Melihat definisi Furnival dan karakteristik yang diajukan oleh Berghe, telihat bahwa masyarakat Indonesia memilki karakteristik seperti itu. Memang secara vertikal maupun horizontal, masyarakat kita masyarakat yang paling majemuk di Dunia, selain Amerika  Serikat dan India. Kemajemukan ini menurut Nasikun (1985, hal 38-44) terjadi karena : Keadaan geografis, dengan beribu-ribu pulau; Indonesia terletak di antara Samudra Indonesia dan Pasifik, sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia; Iklim yang berbeda dan struktur tanah yang tidak sama diantara berbagai daerah di kepulauan Nusantara ini.

Dalam masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia, yang terdiri dari bebagai suku bangsa, ras, agama, kelompok dan golongan , masalah pengintergrasian kelompok-kelompok tersebut merupakan masalah yang pelik. Oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk memenej konflik tersebut, supaya dapat menghasilkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan tidak destruktif.

Konflik dapat terjadi melalui beberapa fase. Fase-fase  terjadinya konflik kekerasan adalah sebagai berikut (Nitibaskara, 2002, hal 50-53) :

Fase pertama, tahap pendahuluan. Pada fase ini, faktor struktural telah menjadi lahan subur yang kondusif untuk meledaknya konflik kekerasan antar-etnis. Hanya seidikit orang yang memahami secara sadar keadaan yang berkembang …Jika tahap ini gagal ditanggulangi maka realitas sosial memasuki fase kedua . Tahap kedua adalah tahap titik didih. Pada tahap ini, faktor struktural penyebab konflik kekerasan telah benar-benar kondusif bagi meledaknya konfrontasi terbuka antar-etnis  yang saling memendam rasa permusuhan. Tindakan saling melecehkan simbol-simbol etnis semakin lebih terbuka. Budaya mulai sering dieksploitasi perbedaannya… Bilamana tahap kedua tersebut gagal diturunkan tensinya, maka akan menginjak babak berikutnya, yakni konflik kekerasan anatar-etnis  secara terbuka… Akhirnya sampai ke tahap  atau faase keempat, yaitu  tahap peredaan konflik, pada tahap ini setiap hal yang mengarah kepada timbulnya konflik baru harus segera ditangkal sedini mungkin…

 

Mencermati apa yang telah diuraikan tentang fase-fase konflik terlihat bahwa  pada setiap fase dimungkinkan untuk terjadinya peneyelesaian konflik. Gambaran tentang fase ini juga menunjukkan bahwa  konflik etnis mungkin akan dapat berhenti dengan sendirinya tanpa harus melalui keempat fase tersebut.  Yang penting dari itu semua adalah bagaimana mencegah konflik sosial baik yang berlatar belakang agama, etnis, politik maupun ekonomi.  Cara yang bisa dilakukan adalah dengan memenej konflik atau potensi konflik. Salah satu bentuk manajemen konflik yang dapat dilakukan adalah melalui proses pembelajaran di lembaga pendidikan (sekolah).

Dalam hal ini terlihat bahwa  terdapat beban yang sangat berat bagi pendidikan kita terutama pendidikan moral atau proses sosialisasi tentang keberagamaan dan makna dari keberagaman tersebut bagi kehidupan. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mulai memikirkan pendidikan multikultur yang  mengembangkan konsep toleransi, saling menghargai, saling menghormati dan saling menyadari tentang sebuah perbedaan. Para pendidik harus bekerja keras untuk melakukan reorientasi pembelajaran agama kepada para peseta didik dengan tetap mensosialisasikan nilai-nilai dan norma agama dari masing-masing agama yang diajarkan tetapi dengan mengembangkan konsep multiculturalism education /learning. Karena dengan begitu mekanisme manajemen konflik akan bisa dilaksanakan. Tentunya dengan didukung kebijakan pemerintah tentang pendidikan moral,  agama dan sosial.

 

  1. C.     Antara Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Berbasis Masyarakat

 

Undang-undang Pendidikan Nasional menyuratkan tentang pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education, lihat Soedijarto, 2000, hal 77) yang didalamnya disebutkan bahwa Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah :

Penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.

 

Lebih lanjut dalam Bagian Kedua Pasal 55 tentang pendidikan berbasis masyarakat diuraikan :

(1)               Masyarakat berhak meneyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan  kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

(2)               Penyelenggara pendididkan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan  kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan

(3)               Dana penyelenggaraan pendidikan  berbasis masyarakat dapat  bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Paerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4)               Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan  merata dari Pemerintah  dan/atau pemerintah Daerah

(5)               Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.

 

Dari ketentuan yang tersurat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terlihat bahwa pendidikan berbasis masyarakat ditujukan untuk memperoleh output pendidikan  yang dapat berperan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun penulis kuatir, keberadaan dari pendidikan  berbasis masyarakat ini justru akan menajamkan friksi  kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, karena dengan penyelenggaraan pendidikan yang  diselenggarakan berdasarkan karakteristik wilayah, sosial dan budaya masayarakat Indonesia maka ego kedaerahan akan semakin  tinggi dan ini sangat berbahaya.

Namun bila pendidikan berbasis masyarakat tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah krisis ekonomi di Indonesia yang kemudian mempengaruhi kemampuan negara untuk menyediakan dana pendidikan, hal ini dapat diterima. Tetapi bila model penddidikan ini akan terus dikembangkan, saya yakin akan terus dikembangkan sebab terligitimasi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Maka yang perlu diantisipasi adalah kemungkinann  adanya  keberagaman dalam mutu pendidikan, yang disatu sisi hal ini akan mendukung otonomi daerah dan juga otonomi pendidikan, tetapi di sisi lain memiliki kemungkinan yang besar dalam mengancam intergrasi nasional serta mempengaruhi keberhasilan dari pembangunan karakter manusia Indonesia.

 

Lain dari itu terlihat juga adanya kemungkinan negara, melepas tanggung jawab dalam pembiayaan penyelenggaraan  pendidikan dimasing-masing wilayah penyelenggara, hal ini akan sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, perubahan  keempat tentang diharuskannya negara menyediakan dana pendidikan sekuarang-kurangnya sebesar 20 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBN dan APBD). Seperti terlihat pada penyempurnaan pasal 31 dann 32, yang natara lain (Soedijarto, 2003, hal 2):

“mewajibkan pemerintah untuk membiayai sepenuhnya pendidikan wajib  belajar (0asal  31 ayat (2))”, “mewajibkan negara menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD (pasal 31 ayat (4)).”

Dugaan itu ternyata memang tidak salah, sebab tujuan utama dari penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat adalah  untuk mengatasi dampak krisis ekonomi  terhadap pendidikan (Soedijarto, ibid, hal 77)

Sementara pendidikan multi-kultural  tersurat dalam beberapa pasal Undang-Undang Sisdiknas, antara lain pasal 3 yang menyatakan bahwa :

“pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

 

Kalimat menjadi warga negara yang demokratis  serta bertanggung jawab menunjukkan adanya tekad untuk melaksanakan pendidikan multikultur. Lebih lanjut dalam pasal 4 Undang-undang ini diuraikan bahwa :

(1)                Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

(2)                Pendidikan diselenggarakan sebgai suatu kesatuan yang sitemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

Kedua ayat dalam pasal empat tersebut menyuratkan dan menyiratkan tentang pentingnya pendidikan multikultur dalam rangka mendukung proses demokratisasi dan dalam rangka terciptanya integrasi nasional.

Apa itu pendidikan multikultural (multicultural education) ? Ada banyak pengertian tentang ini, diantaranya adalah :

  1. Multicultural education is a process through which individuals’ development ways of perceiving, evaluation in behaving within cultural systems, are different from their own (Gibson 1984, in Hernadez, 2001 in Semiawan 2003, pp 6)
  2. we may define multicultural education as the process whereby a person “develops competencies in multiple systems of standards for perceiving, evaluating, believeing and doing “(Saifuddin based on Goodenough definition, 2003, pp. 4)
  3. Muticultural education is a progresseve approach for transforming education that holistically critiques and addresses current shortcomings, failings, and discriminatory practices in education. It is grounded in ideals of social justice, education equity, and a dedication to facilitating educational experiences in which all students reach their full potential as learners and as socially aware and active beings, locally, nationall, and globally. Multicutural education acknowledges that schools are essensial to laying the foundation foor transformation of society and the elimination off oppression and justice.(Budianta, 2003, pp. 8)
  4. Multicultural education as ‘a philosophy, a methodology for educational reform” or “just a set of teaching materials with pedagogical program.” (Gay dalam Budianta, 2003, hal 8)

Dari beberapa definisi tentang multicultural education terlihat bahwa  multi cultural education  sangat relevan dilaksanakan dalam mendukung proses demokratisasi, dimana adanya pengakuan hak asasi manusia,  tidak adanya diskriminasi dan  diupayakannya keadilan sosial. Disamping itu dengan pendidikan multikultural ini dimungkinkan  seseorang  dapat hidup dengan tenang di lingkungan kebudayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya.

Seperti telah diuraikan di muka bahwa masyarakat kita ini masyarakat majemuk dan bahkan paling majemuk di dunia. Karena itu agar kemajemukan ini tidak berkembang menjadi ancaman disintegrasi harus diupayakan untuk dikelola. Bagaimaana pengelolaannya ? Pendidikan  salah satu jawaban utamanya.   Proses pembelajaran tentang manusia Indonesia harus merupakan mata pelajaran wajib di seluruh tingkatan  jenjang pendidikan. Guru, kurikulum, sarana- prasarana, gbpp dan berbagai hal yang diperlukan untuk suatu proses pembelajaran yang mendukung multikulturalisme harus disediakan oleh negara. Mengapa negara ? Negara adalah otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan pendidikan.  Untuk membentuk manusia Indonesia yang bercirikan ke-Indonesiaan diperlukan adanya penyeragaman dalam beberapa mata pelajaran yang bersifat umum seperti Bahasa Indonesia, Sosia-Budaya Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Perbandingan Agama. Mata pelajaran ini adalah mata pelajaran yang mutlak harus diberikan untuk membentuk karakter manusia Indonesia. Selain tentunya mata pelajaran olah raga dan kesenian. Selama ini proses pembelajaran lebih cenderung mengupayakan penyeragaman, dan kurang memperhatikan keragaman masyarakat bangsa Indonesia.

Berbeda dengan pendidikan berbasis masyarakat, dimana  model seperti ini akan lebih banyak menimbulkan friksi-friksi dalam masyarakat  karena yang ditonjolkan justru ciri kedaerahan  yang justru berbeda dengan daerah lainnya. Model ini juga  akan  banyak menimbulkan masalah ketika kita membicarakan standar kualitas. Walaupun disebutkan bahwa standar kualitas yang digunakan adalah standar nasional, tetapi  dengan kemungkinan penyelenggaran evaluasi sendiri dan penentuan kurikulum sendiri serta  sarana dan prasanan pembelajaran sendiri  dan kesejahteraan guru juga sendiri, maka penulis sangat kuatir bahwa pendidikan model ini justru akan semakin mempersulit terwujudnya integrasi nasional dan sekaligus akan mempersulit terwujudnya  manusia Indonesia seutuhnya, dengan karakteristik Indonesia yang berbudaya Indonesia dan hidup dalam sistem sosial dan politik Indonesia.  Ini tantangan bagi dunia pendidikan  dimana pendidikan dihadapkan pada konteks desentralisasi dan integrasi nasional, yang menuntut pemikiran yang cermat dalam menentukan strategi pendidikan sebagai upaya untuk membangun karakter bangsa yang diwarnai dengan kemajemukan.

 

  1. D.    Empat Pilar Pendidikan dan Masalah Kemajemukan

Dalam buku laporannya ke UNESCO, Jacques Delors, et. al., (1996, hl. 85-97) mengemukkan bahwa ada empat buat sendi/pilar pendidikan, yaitu :

  1. Learning to know (belajar untuk mengetahui)
  2. Learning to do (belajar untuk berbuat)
  3. Learning to live togather, learning to live with others (belajar untuk hidup bersama)
  4. Learning to be ( belajar untuk menjadi seseorang)

 

Dalam Pointers and Recommendations, Delors et.al.(hal. 97) mengemukakan  bahwa :

Learning to know, dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan  keseempatan untuk mempelajari secara mendalam pada sejumlkah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga berarti juga learning to learn (belajar untuk belajar), sehingga memperoleh keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang hayat.

Learning to do, untuk memperoleh  bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda dalam berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan kursus-kursus, program  bergantian antara belajar dan bekerja.

Learning to live together, learning to live with others , dengan jalan mengembangkan pengertian  akan orang lain dan apresiasi atas interdependensi—melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej konflik—dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan perdamaian.

Learning to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak mandiri, membuat pertimbangan  dan rasa tanggung jawab pribadi yang semakin besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan keterampilan berkomunikasi.

Dari keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live toggether, learning to live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan suatu pilar yang  sangat penting. Pilar ini sekaligus juga menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang berupaya untuk mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk bersikap toleran terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang lain dan sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggunga jawab terhadap dirinya serta orang lain. Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak hanya pada learning to know, lerning to do dan leraning to be, tetapi juga diarahkan ke learning to live together,  masalah kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen konflik dan dengan demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan nasional yang tidak melupakan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasuonal dengan tidak melupakan bahasa daerah, tumbuhnya  sistem politik nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah, (pemerintahan daerah). Secara umum akan tumbuh dan berkembang Sistem Sosial Indonesia, yang berbeda dari Sistem Sosial Amerika, Sistem Sosial Jepang, Sistem Sosial negara-negara lainnya. It is Indonesia so we are Indonesians. Go for it !!!.

 

 

E.     Catatan Penutup

Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa catatan penutup :

    1. Kemajemukan harus dipandang sebagai suatu anugrah untuk pencapaian kualitas hidup masyarakat Bangsa indonesia
    2. Bahwa Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakomodir pendidikan multikulur untuk mencapai keharmonisan dalam kemajemukan serta untuk mencapai kehidupan Indonesia yang demokratis.
    3. Bahwa ada dilema antara penyelenggaraan model pendidikan berbasis masyarakat dengan pendidika  multikultural, dimana tujuan awal dari keduanya berbeda. Namun begitu  untuk mengoptimalkan potensi daerah terutama dalam hal pembiayaan penyelenggaraan pendidikan , sesuai dengan konteks otonomi daerah, pendidikan berbasis masyarakat  perlu dipikirkan formatnya, supaya penyelenggaraannya tidak semata-mata untuk menyelesaikan kekurangan dana dari negara, tetapi untuk mendukung terlaksananya pendidikan multikultur yang  ditujukan agar tercapai kehidupan Indonesia yang harmonis dan berkualitas dengan karakter Indonesia.
    4. Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan multikultural, diperlukan perubahan paradigma pendidikan, dan karenanya diperlukan peningkatan kompetensi pendidik  untuk mewujudkannya, reformasi kurikulum yang mengarah pada pengakuan dan pengejawantahan kemajemukan masyarakat, serta penyusunan kembali teks books.
    5. Pendidikan  adalah investasi oleh karena itu,  penyediaan dana yang cukup, paling tidak sesuai dengan ketentuaan dalam Undang-undang Dasar 1945  penyempurnaan yang keempat, yaitu sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD, dapat segera terwujud. Tentunya dengan catatan dana tersebut tidak digerogoti oleh para koruptor yang bekerja di bidang pendidikan.
    6. Kita ini orang Indonesia, maka pendidikan kita juga harus pendidikan yang sesuai dengan kepentingan Indonesia, tertutama kepentingan untuk mewujudkan karater Indonesia dengan kemajemukannya.
 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 4 Juli 2011 inci Materi Muliah

 

NASKAH KODE ETIK GURU INDONESIA

RUMUSAN AWAL KODE ETIK GURU

Kode Etik Guru Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan norma-norma profesi guru yang tersusun dengan baik dan sistematik dalam suatu sistem yang utuh dan bulat. Fungsi Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam menuunaikan tugas pengabdiannya sebagai guru, baik di dalam maupun di luar sekolah serta dalam kehidupan sehari-hari di masyarkat. Dengan demikian, maka Kode Etik Guru Indonesia merupakan alat yang amat penting untuk pembentukan sikap profesional para anggota profesi keguruan.

 

Sebagaimana halnya dengan profesi lainnya, Kode Etik Guru Indonesia ditetapkandalam suatu konges yang dihadiri oleh seluruh utusan Cabang dan Pengurus Daerah PGRI dari seluruh tanah air, pertama dalam Kongres PGRI XVI tahun 1973, dan kemudian disempurnakan dalam Kongres PGRI XVI tahun 1989 juga di Jakarta (SK Menpan No. 26/1989). Adapun teks Kode Etik Guru Indonesia yang telah disempurnakan tersebut adalah sebagai berikut:

 

PEMBUKAAN

 

Dengan rahmat Tuhan yang Maha Esa guru Indonesia menyadari bahwa jabatan guru adalah suatu profesi yang terhormat dan mulia. Guru mengabdikan diri dan berbakti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia indonesia yang bermain, bertakwa dan berakhlak mulia serta mengusai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil,makmur, dan beradap.

 

Guru Indonesia selalu tampil secara profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan. Melatih menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru Indonesia memiliki kehandalan yang tinggi sebagai sumber daya utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

 

Guru indonesia adalah insan yang layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya oleh peserta didik yang dalam melaksanakan tugas berpegang teguh pada prinsip “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip tersebut guru indonesia ketika menjalankan tugas-tugas profesional sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

 

Guru indonesia bertanggung jawab mengatarkan siswanya untuk mencapai kedewasaan sebagai calon pemimpin bangsa pada semua bidang kehidupan. Untuk itu, pihak-pihak yang berkepentingan selayaknya tidak mengabaikan peranan guru dan profesinya, agar bangsa dan negara dapat tumbuh sejajar dengan bangsa lain di negara maju, baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Kondisi seperti itu bisa mengisyaratkan bahwa guru dan profesinya merupakan komponen kehidupan yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini sepanjang zaman. Hanya dengan tugas pelaksanaan tugas guru secara profesional hal itu dapat diwujudkan eksitensi bangsa dan negara yang bermakna, terhormat dan dihormati dalam pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia ini.

 

Peranan guru semakin penting dalam era global. Hanya melalui bimbingan guru yang profesional, setiap siswa dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, kompetetif dan produktif sebagai aset nasional dalam menghadapi persaingan yang makin ketat dan berat sekarang dan dimasa datang.

 

Dalam melaksanakan tugas profesinya guru indonesia menyadari sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik putera-puteri bangsa.

 

Bagian Satu

Pengertian, tujuan, dan Fungsi

Pasal 1

  1. Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia. Sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota maasyarakat dan warga negara.
  2. Pedoman sikap dan perilaku sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar,membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta sikap pergaulan sehari-hari di dalam dan luar sekolah.

 

Pasal 2

  1. Kode Etik Guru Indonesia merupakan pedoman sikap dan perilaku bertujuan menempatkan guru sebagai profesi terhormat, mulia, dan bermartabat yang dilindungi undang-undang.
  2. Kode Etik Guru Indonesia berfungsi sebagai seperangkat prinsip dan norma moral yang melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru dalam hubungannya dengan peserta didik, orangtua/wali siswa, sekolah dan rekan seprofesi, organisasi profesi, dan pemerintah sesuai dengan nilai-nilai agama, pendidikan, sosial, etika dan kemanusiaan.

 

Bagian Dua

Sumpah/Janji Guru Indonesia

 

Pasal 3

  1. Setiap guru mengucapkan sumpah/janji guru Indonesia sebagai wujud pemahaman, penerimaan, penghormatan, dan kesediaan untuk mematuhi nilai-nilai moral yang termuat di dalam Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
  2. Sumpah/janji guru Indonesia diucapkan di hadapan pengurus organisasi profesi guru dan pejabat yang berwenang di wilayah kerja masing-masing.
  3. Setiap pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dihadiri oleh penyelenggara satuan pendidikan.

 

Pasal 4

  1. Naskah sumpah/janji guru Indonesia dilampirkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Kode Etik Guru Indonesia.
  2. Pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dapat dilaksanakan secara perorangan atau kelompok sebelumnya melaksanakan tugas.

 

Bagian Tiga

Nilai-nilai Dasar dan Nilai-nilai Operasional

 

Pasal 5

Kode Etik Guru Indonesia bersumber dari :

  1. Nilai-nilai agama dan Pancasila
  2. Nilai-nilai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
  3. Nilai-nilai jati diri, harkat dan martabat manusia yang meliputi perkembangan kesehatan jasmaniah, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual,

 

Pasal 6

 

(1) Hubungan Guru dengan Peserta Didik:

  • a) Guru berperilaku secara profesional dalam melaksanakan tuga didik, mengajar, membimbing, mengarahkan,melatih,menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
  • b) Guru membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati dan mengamalkan hak-hak dan kewajiban sebagai individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat
  • c) Guru mengetahui bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara individual dan masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran.
  • d) Guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan.
  • e) Guru secara perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus berusaha menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi peserta didik.
  • f) Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan.
  • g) Guru berusaha secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangan negatif bagi peserta didik.
  • h) Guru secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk berkarya.
  • i) Guru menjunjung tinggi harga diri, integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didiknya.
  • j) Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya secara adil.
  • k) Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya.
  • l) Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan penuh perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya.
  • m) Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar, menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan.
  • n) Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi serta didiknya untuk alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum, kesehatan, dan kemanusiaan.
  • o) Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesionallnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama.
  • p) Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesional dengan peserta didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.

 

(2) Hubungan Guru dengan Orangtua/wali Siswa :

  • a) Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan efisien dengan Orangtua/Wali siswa dalam melaksannakan proses pedidikan.
  • b) Guru mrmberikan informasi kepada Orangtua/wali secara jujur dan objektif mengenai perkembangan peserta didik.
  • c) Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang lain yang bukan orangtua/walinya.
  • d) Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk beradaptasi dan berpatisipasi dalam memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan.
  • e) Guru berkomunikasi secara baik dengan orangtua/wali siswa mengenai kondisi dan kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada umumnya.
  • f) Guru menjunjunng tinggi hak orangtua/wali siswa untuk berkonsultasin dengannya berkaitan dengan kesejahteraan kemajuan, dan cita-cita anak atau anak-anak akan pendidikan.
  • g) Guru tidak boleh melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali siswa untuk memperoleh keuntungna-keuntungan pribadi.

 

(3) Hubungan Guru dengan Masyarakat :

 

  • a) Guru menjalin komunikasi dan kerjasama yang harmonis, efektif dan efisien dengan masyarakat untuk memajukan dan mengembangkan pendidikan.
  • b) Guru mengakomodasikan aspirasi masyarakat dalam mengembnagkan dan meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran.
  • c) Guru peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
  • d) Guru berkerjasama secara arif dengan masyarakat untuk meningkatkan prestise dan martabat profesinya.
  • e) Guru melakukan semua usaha untuk secara bersama-sama dengan masyarakat berperan aktif dalam pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan peserta didiknya
  • f) Guru memberikan pandangan profesional, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, hukum, moral, dan kemanusiaan dalam berhubungan dengan masyarakat.
  • g) Guru tidak boleh membocorkan rahasia sejawat dan peserta didiknya kepada masyarakat.
  • h) Guru tidak boleh menampilkan diri secara ekslusif dalam kehidupam masyarakat.

(4) Hubungan Guru dengan seklolah

  • a) Guru memelihara dan eningkatkan kinerja, prestasi, dan reputasi sekolah.
  • b) Guru memotivasi diri dan rekan sejawat secara aktif dan kreatif dalam melaksanakan proses pendidikan.
  • d) Guru menciptakan melaksanakan proses yang kondusif.
  • e) Guru menciptakan suasana kekeluargaan di dalam dan luar sekolah.
  • f) Guru menghormati rekan sejawat.
  • g) Guru saling membimbing antarsesama rekan sejawat
  • h) Guru menjunung tinggi martabat profesionalisme dan hubungan kesejawatan dengan standar dan kearifan profesional.
  • i) Guru dengan berbagai cara harus membantu rekan-rekan juniornya untuk tumbuh secara profsional dan memilih jenis pelatihan yang relevan dengan tuntutan profesionalitasnya.
  • j) Guru menerima otoritas kolega seniornya untuk mengekspresikan pendapat-pendapat profesionalberkaitan dengan tugas-tugas pendidikan dan pembelajaran
  • k) Guru membasiskan diri pada nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan dalam setiap tindakan profesional dengan sejawat.
  • l) Guru memliki beban moral untuk bersama-sama dengan sejawat meningkatkan keefektifan pribadi sebagai guru dalam menjalankan tugas-tugas profesional pendidikan dan pembelajaran.
  • m) Guru mengoreksi tindakan-tindakan sejawat yang menyimpang dari kaidah-kaidah agama, moral, kemanusiaan, dan martabat profesionalnya.
  • n) Guru tidak boleh mengeluarkan pernyataan-pernyaan keliru berkaitan dengan kualifikasi dan kompetensi sejawat atau calon sejawat.
  • o) Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan martabat pribadi dan profesional sejawatnya
  • p) Guru tidak boleh mengoreksi tindakan-tindakan profesional sejawatnya atas dasar pendapat siswa atau masyarakat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarnya.
  • q) Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi sejawat kecuali untuk pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilegalkan secara hukum.
  • r) Guru tidak boleh menciptakan kondisi atau bertindak yang langsung atau tidak langsung akan memunculkan konflik dengan sejawat.

(5) Hubungan Guru dengan Profesi :

  • a) Guru menjunjung tinggi jabatan guru sebagai sebuah profesi
  • b) Guru berusaha mengembangkan dan memajukan disiplin ilmu pendidikan dan bidang studi yang diajarkan
  • c) Guru terus menerus meningkatkan kompetensinya
  • d) Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya dan bertanggungjawab atas konsekuensiinya.
  • d) Guru menerima tugas-tugas sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindkan-tindakan profesional lainnya.
  • e) Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan martabat profesionalnya.
  • f) Guru tidak boleh menerima janji, pemberian dan pujian yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan-tindakan proesionalnya
  • g) Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dengan maksud menghindari tugas-tugas dan tanggungjawab yang muncul akibat kebijakan baru di bidang pendidikan dan pembelajaran.

 

(6) Hubungan guru dengan Organisasi Profesinya :

  • a) Guru menjadi anggota aorganisasi profesi guru dan berperan serta secara aktif dalam melaksanakan program-program organisasi bagi kepentingan kependidikan.
  • b) Guru memantapkan dan memajukan organisasi profesi guru yang memberikan manfaat bagi kepentingan kependidikan
  • c) Guru aktif mengembangkan organisasi profesi guru agar menjadi pusat informasi dan komunikasi pendidikan untuk kepentingan guru dan masyarakat.
  • d) Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas organisasi profesi dan bertanggungjawab atas konsekuensinya.
  • e) Guru menerima tugas-tugas organisasi profesi sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindakan-tindakan profesional lainnya.
  • f) Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang dapat merendahkan martabat dan eksistensis organisasi profesinya.
  • g) Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dan bersaksi palsu untuk memperoleh keuntungan pribadi dari organisasi profesinya.
  • h) Guru tidak boleh menyatakan keluar dari keanggotaan sebagai organisasi profesi tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

 

(7) Hubungan Guru dengan Pemerintah :

  • a) Guru memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan program pembangunan bidang pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945, UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Tentang Guru dan Dosen, dan ketentuan Perundang-Undang lainnya.
  • b) Guru membantu Program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan berbudaya.
  • c) Guru berusaha menciptakan, memeliharadan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pancasila dan UUD1945.
  • d) Guru tidak boleh menghindari kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah atau satuan pendidikan untuk kemajuan pendidikan dan pembelajaran.
  • e) Guru tidak boleh melakukan tindakan pribadi atau kedinasan yang berakibat pada kerugian negara.

 

Bagian Empat

Pelaksanaan , Pelanggaran, dan sanksi

 

Pasal 7

  1. Guru dan organisasi profesi guru bertanggungjawab atas pelaksanaan Kude Etik Guru Indonesia.
  2. Guru dan organisasi guru berkewajiban mensosialisasikan Kode Etik Guru Indonesia kepada rekan sejawat Penyelenggara pendidikan, masyarakat dan pemerintah.

 

Pasal 8

  1. Pelanggaran adalah perilaku menyimpang dan atau tidak melaksanakan Kode Etik Guru Indonesia dan ketentuan perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan protes guru.
  2. Guru yang melanggar Kode Etik Guru Indonesia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
  3. Jenis pelanggaran meliputi pelanggaran ringan sedang dan berat.

 

Pasal 9

  1. Pemberian rekomendasi sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia merupakan wewenang Dewan Kehormatan Guru Indonesia.
  2. Pemberian sanksi oleh Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus objektif
  3. Rekomendasi Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh organisasi profesi guru.
  4. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan upaya pembinaan kepada guru yang melakukan pelanggaran dan untuk menjaga harkat dan martabat profesi guru.
  5. Siapapun yang mengetahui telah terjadi pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia wajib melapor kepada Dewan Kehormatan Guru Indonesia, organisasi profesi guru, atau pejabat yang berwenang.
  6. Setiap pelanggaran dapat melakukan pembelaan diri dengan/atau tanpa bantuan organisasi profesi guru dan/atau penasehat hukum sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan dihadapan Dewan Kehormatan Guru Indonesia.

 

Bagian Lima

Ketentuan Tambahan

Pasal 10

Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi Kode Etik Guru Indonesia dan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Enam

Penutup

 

Pasal 11

  1. Setiap guru secara sungguh-sungguh menghayati,mengamalkan serta menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia.
  2. Guru yang belum menjadi anggota organisasi profesi guru harus memilih organisasi profesi guru yang pembentukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  3. Dewan Kehormatan Guru Indonesia menetapkan sanksi kepada guru yang telah secara nyata melanggar Kode Etik Guru Indonesia.

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 27 Juni 2011 inci Coretan Mahasiswa

 

KEBAHAGIAAN

KEBAHAGIAAN bersumber dari dalam diri sendiri, jangan berharap dari diri orang lain, karena orang lain dapat mengkhianati. Kebahagiaan ada bila bisa menerima diri apa adanya, mencintai dan menghargai diri sendiri, mau mencintai dan menerima orang lain.

Keegoisan manusia yang menyebabkannya menjadi buta, keegoisan dan hanya memikirkan diri sendiri yang menyebabkan manusia tidak sadar bahwa ia begitu dicintai, tidak sadar bahwa saat ini apa yang ada adalah baik untuknya.

Begitu banyak sahabat yang begitu mencintai, tapi karena terlalu memilih, menilai dan menghakimi sendiri, justru sahabat sejati menjadi semakin jauh. Terlalu memilih sahabat membuat manusia tak dapat menyadari di depan mata ada sahabat sejati yang dibutuhkannya.

Tiap-tiap manusia memiliki arti dan peranan masing-masing, semua berbeda. Tidak ada yang memiliki arti yang sama persis. Punya peranan dan kelebihan disatu hal, tidak harus memiliki peranan dan arti dalam hal lain. Dicintai oleh satu orang belum tentu disayang oleh orang lain.

Percaya kepada Tuhan, bersyukur bahwa manusia selalu diberikan yang terbaik sesuai yang diperbuat manusia itu sendiri. Tak perlu berkeras hati, Ia akan memberi di saat yang tepat apa yang manusia butuhkan. Tidak harus saat ini, masih ada esok hari. Seperti yang sedang teralami, mendapat suatu cobaan dan kesusahan adalah jalan untuk dapat melihat kebahagiaan “menikmati kebahagiaan dalam kesusahaan hati”.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 22 Juni 2011 inci Motivasi